Sepenggal Cerita Anak dan Orang Tua

Hari Jum’at pukul 11.00, aku sampai di sebuah gedung tempat aku akan melaksanakan sebuah tes kerja. Hari itu aku bersama bapak dan ibuku, yang mengantarku ke tempat tes. Sebelum tes berlangsung kusujud tangan mereka, kucium pipi dan kening keduanya. “Bapak, ibu.. tolong doakan aku, semoga dapat hasil yang terbaik” begitu pintaku pada mereka. Kedua nya meng iya kan, dan memberiku semangat agar berhasil dalam mengerjakan tes, dengan tatapan sayang nya, dengan senyum hangatnya.

Beberapa jam berlalu, aku pun selesai mengerjakan tes. Jujur tes ini lebih sulit dari tes sebelum nya. Aku pun keluar ruangan dengan langkah lunglai dan wajah di tekuk. Senyum ku pahit, dan ku sujud kembali tangan kedua orang tuaku saat bertemu seusai tes dengan senyum kelu itu. Tapi yang membuat ku lebih kelu, wajah ibu yang sangat lesu, lebih lesu dari senyum ku. “Kenapa bu..?” tanyaku pada Ibu. “Tidak apa nak, ibu cuma lesu mendengar perjuangan orang-orang yang ibu temui selama kamu tes ini, ada yang sudah lulus dari tahun 2014, ada yang bawa anak nya dari lubuk linggau, dan sebagainya” ibu bercerita banyak. Kemudian aku memeluk nya, “iya bu, kita semua sudah berjuang, setiap orang sedang berjuang di jalan nya masing-masing”. “Makanya Ayuk (panggilan saya di rumah, artinya ‘mbak’ dalam bahasa Palembang), harus semangat ya, jangan lesu!” katanya padaku meski dengan wajah yang masih lesu. Kembali ku peluk erat beliau. “Iyaa bu, pasti” jawabku dengan senyum yang masih setengah lesu wkwk.

Ku pandang lagi ibuku dan ayahku. Kedua sosok ini, adalah yang paling tulus mencintaiku, tanpa syarat. Aku tau perjuangan mereka membesarkan ku, dari semenjak aku kecil sampai dewasa kini. Orang yang pertama bahagia saat aku bahagia, orang yang begitu sedih ketika aku sedih. Demi keduanya aku berjanji, ingin jadi lebih baik lagi, lebih berbakti lagi, lebih keras lagi mencari rezeki.

Ku lihat wajah mereka saat mengantarku, berseri penuh semangat dan kebahagiaan. Ku lihat wajah mereka setelah tes selesai, ikut sedih ketika aku bersedih. Cita-cita sederhana ku, ingin membahagiakan keduanya, berbakti padanya, dan menjaga diriku dengan baik. Aku tidak boleh sedih lama-lama, karena orang tua ku juga akan ikut bersedih. Dan sebisaku, selalu memberi ceria ku, agar mereka ikut ceria.๐Ÿ˜„


Ibu sering menggoda ku untuk cepat menikah. Terkadang kalau aku sedang bantu memasak Ia berkata “Nanti gini caranya masak masakan ini untuk anak dan suami, ya” katanya. Atau kalau aku membantu nya menanam tanaman dan pekerjaan rumah lain nya, beliau sering mengkode ku untuk melakukan nya dengan baik saat jadi istri. Atau saat Bapak dan Ibu menggendong sepupuku yang masih kecil, “Kapan ya Bapak bisa gendong cucu” begitu katanya bercanda. Kadang ibu sering mensurvei tempat yang murah dan layak buat resepsi setiap menghadiri undangan, “buat jaga-jaga” katanya bercanda. Kalau Bapak beda lagi, katanya yang penting akad terucap dan resepsi sederhana saja di halaman rumah. Gemes melihat mereka yang lebih semangat tentang teknis-teknis tersebut dibanding anak nya sendiri, yang justru belum kepikiran.

Sampai di umurku yang ke 22 ini, belum pernah ku ceritakan tentang calon atau pasangan. Karena saat ini yang ada di benak ku, adalah bagaimana aku jadi anak yang berbakti dan kakak yang baik buat contoh adik ku. Aku masih ingin membanggakan mereka dan berbakti lebih banyak sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Masih banyak kekurangan ku dan kelalaian ku selama jadi seorang anak rasanya. Aku sungguh belum berani mengatakan satu nama pun, sebelum mendapat kepastian yang mutlak.

Mungkin ada nama yang kusimpan di benak ku, di sujud ku di sepertiga malam, di dalam do’a-do’a setiap malam. Tapi, tak pernah ku beritahu mereka tentang sosoknya. Sungguh di tiap akhir do’a aku selalu menyertakan kalimatdialah pilihan hamba yaa Allah, namun hamba yakin ketentuan Mu adalah yang terbaik, apa pun itu. Hingga mungkin sampai saat ini, do’a Halimah akan tetap sama, meminta dan menyerahkan segala ketentuan nya pada Allah, Iman pada ketentuan Nya, dan selalu mendoakan kebahagiaan beliau. 

Saat ini, masih panjang jalan di depan untuk mewujudkan banyak cita-cita sebelum menikah. Dalam proses memantaskan diri ini pun saya banyak di tegur oleh Allah untuk lebih menjaga. Saya tentu banyak kurang nya, sedang berusaha jadi lebih baik setiap hari. Semoga dengan teguran-teguran ini bisa jadi lebih baik. Karena sesungguhnya, dalam kehidupan berumah tangga, akan ada banyak tantangan ke depan nya, terutama dalam mewujudkan visi misi keluarga. Halimah menganggap apa pun yang terjadi saat ini adalah proses agar saya siap menghadapi tahap hidup selanjutnya. Dan Halimah belajar untuk lebih mengedepan kan berkah dalam tiap prosesnya.

Semoga yang terjaga dapat bertemu dengan yang menjaga. Semoga kita semua bisa membahagiakan kedua orang tua dengan sungguh-sungguh sebelum menikah. Dan semoga kita selalu iman dan legowo dengan keputusan Allah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa itu Ibu? Siapa itu ayah?

Kisah Menarik Pohon Ghorqod, Pohon-nya Kaum Yahudi

Sinyal Kebaikan